Biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan: Perjalanan Hidup dan Kewalian
Di sinilah, keberadaan
ulama besar terasa cukup berpengaruh, meski beberapa di antaranya kini hanya
berupa makam. Bukankah demikian, manusia mati meninggalkan amal perbuatan yang
akan selalu dikenang orang lain? Hebatnya, meski hanya berbentuk pusara,
getaran keimanan itu akan terasa hingga ke dalam hati.
![]() |
biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan |
Biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan Terlengkap
Mbah Kyai Hamid
merupakan sosok ulama besar yang kondang dengan kharismatik dan kesabarannya.
Meski digadang-gadang menjadi cikal bakal kota Pasuruan, tetapi ternyata Mbah
Kyai Hamid bukanlah orang asli daerah tersebut. Agar tak lagi salah tangkap,
berikut ulasan mengenai biografi Mbah
Kyai Hamid Pasuruan selengkapnya:
Kelahiran
Menurut sumber
informasi yang didapatkan, Mbah Kyai Hamid lahir di dukuh Sumurkepel, desa
Sumber Girang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jateng. Sementara untuk tahun
kelahiran, diperkirakan pada tahun 1915 Masehi atau 1333 Hijriah. Beliau
memiliki nama asli Abdul Muthi yang kemudian lebih sering dipanggil KH. Abdul
Hamid.
Menurut biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan, beliau
terlahir sebagai anak ketiga dari tujuh belas bersaudara. Namun, saudara
kandung dari satu ibu hanya berjumlah lima orang yang konon saat ini tinggal
dua orang. Satu bernama Halimah dan satu lagi, Kyai Abdur Rahim yang kini
bermukim di daerah Lasem.
Masa Kecil
Keluarga besar Hamid
memang memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam bidang agama, terutama
pesantren. Ayahnya bernama KH. Abdullah Umar yang merupakan seorang ulama
tersohor di daerah Lasem. Begitu juga dengan ibunya yang bernama Royhanan binti
Shiddiq. Wajar, jika Hamid dibesarkan di dalam lingkungan yang bernuansakan
Islami.
Dalam biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan bahwa semasa kecil, beliau biasa dipanggil
dengan nama Dul saja. Beberapa orang lantas memelesetkan menjadi Bedudul
yang memiliki makna nakal. Hamid kecil memang tumbuh menjadi anak yang aktif,
ekstrovert, lincah, dan cenderung nakal untuk sekelas anak seorang ulama.
Namun, kenakalan Hamid
masihlah dalam batas kewajaran. Beliau paling senang bermain sepak bola dan
layang-layang, sehingga acapkali tidak berada di rumah. Oleh karena itu, sang
ayah atau Kyai Umar merasa kewalahan untuk menghentikan hobi Hamid tersebut.
Informasi ini disampaikan oleh adik sepupu Hamid yang bernama, KH. Hasan
Abdillah Glenmore.
Pendidikan Menurut Biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan
Sejak kecil, Hamid sudah
dipersiapkan untuk menjadi seorang ulama, agar dapat meneruskan perjuangan
orang tua dan keluarga. Beliau selalu diajarkan mengaji oleh ayahnya, dan
setelah memasuki usia 9 tahun mulai belajar tentang ilmu fiqih dasar. Namun,
semakin lama kenakalan Hamid kecil tak lagi dapat ditolerir oleh sang ayah,
karena pendidikan agamanya mulai terabaikan.
Oleh karena itu, sang
ayah mengirim Hamid untuk menimba ilmu di Jember. Tepatnya, berada di pondok
pesantren milik sang kakek yang berada daerah desa Talangsari, Jember. Di sana,
Hamid menempuh pendidikan selama tiga tahun. Setelah pulang dari berhaji
bersama sang kakek, Hamid meneruskan pendidikannya di pesantren yang berada di
daerah Kasingan, Rembang.
Seperti yang ada di
dalam biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan,
di sana beliau belajar tentang hadits, fiqih, tafsir, dan lain-lain. Pada
usianya yang ke-18, beliau pun kembali pindah, kali ini ke daerah Termas,
Pacitan. Pada masanya, pesantren ini termasuk berkualitas yang berhasil
menelurkan ulama-ulama besar. Di pesantren milik KH. Dimyathi inilah Hamid
menimba ilmu agama lebih mendalam dan mulai menampakkan perubahan.
Keluarga
Setelah 12 tahun berada
di sana, dipinang oleh sang paman untuk menikahi putrinya yang bernama Nafisah.
Perjodohan ini terjadi berdasarkan pesan sang kakek untuk meminta Hamid menjadi
menantunya. Meski sang kakek sudah dipanggil oleh Sang Maha Kuasa, pernikahan
tersebut pun tetap berlangsung dengan khidmat, meski sedikit ada kendala.
Dalam biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan tercatat,
bahwa pernikahan itu terjadi pada tanggal 12 September 1940 Masehi atau 9 Syaban
1359 Hijriah. Sejak saat itu, Hamid resmi menjadi menantu dari keluarga KH.
Achmad Qusyairi. Tidak mudah bagi Hamid untuk mengawali biduk rumah tangga
dengan Nafisah. Selain tinggal di tempat yang jauh dari kata layak, Hamid muda
harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga barunya.
Beliau bahkan rela
menjadi seorang blantik sepeda sejauh 30kilometer untuk menafkahi keluarga. Tak
hanya itu, cobaan terus datang silih berganti. Mulai dari Nafisah yang sempat
mendiamkannya selama 4 tahun, hingga kematian anak pertama dan kedua pasangan
tersebut. Namun, Hamid tidak pernah mengeluh atau bahkan menceritakan hal
tersebut kepada orang lain atau keluarganya sendiri.
Kewalian
Periode keemasan dalam
perjalanan spiritual Hamid terjadi saat beliau berada di Pasuruan, terutama
bersama Habib Jafar bin Syaikhon as-Sqqaf. Bersama Habib Jafar, pancaran
ruhhul ilahiyah Hamid semakin tercurahkan dengan cemerlang. Ada dua
keistimewaan Hamid di dalam biografi
Mbah Kyai Hamid Pasuruan yang membuat Habid Jafar terkesan, yaitu tawadhu
dan zuhud.
Bahkan, saat sang guru
telah wafat Hamid tidak berani untuk duduk segaris dengan keberadaan kepala
habib. Beliau selalu memilih duduk di bagian bawah atau kaki sang guru untuk
berziarah dan berdoa. Sejak saat
itulah aura kewalian Hamid semakin terlihat, seolah mewarisi asror sang guru. Kiprahnya
dalam membangun pesantren Salafiyah juga tidak berkembang dengan pesat, tetapi
perlahan dan pasti.
Biografi
Mbah Kyai Hamid Pasuruan menceritakan, jika masyarakat
sekitar juga perlu waktu dan proses panjang untuk memercayai beliau. Bahkan,
tidak sedikit orang yang merasa tersaingi dengan tausiyah yang dilakukan oleh
Hamid. Meski demikian, Hamid tetap tawadhu, bersabar, dan tidak pernah
membeda-bedakan orang berdasarkan hal apapun.
Mbah Kyai Hamid selalu
memberikan perhatian penuh kepada siapa pun yang datang ke tempat beliau. Hingga
pada tahun 1960an, Mbah Kyai Hamid diakui sebagai wali dengan taraf muttafaq
alaih. Istilah berasal dari Gus Mus untuk seseorang yang diakui kewaliannya
berdasarkan kesepakatan semua orang, termasuk mereka yang sebelumnya tidak
mengakui.
Karomah
Keistimewaan Hamid
sudah dirasakan sang ayah dan kakek sejak usianya menginjak sembilan tahun. Tepatnya,
saat beliau pergi berhaji dengan sang kakek dan para saudara. Diceritakan dalam
biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan,
konon Hamid bertemu dengan Rasulullah SAW di Mekah. Sayang, sang kakek tidak
menyaksikan peristiwa tersebut.
Masih ada keistimewaan
lain yang dimiliki oleh beliau, salah satunya yaitu kemampuan untuk berada di tempat
berbeda dalam satu waktu. Hal ini sudah dibuktikan oleh beberapa orang yang
juga diberi keistimewaan oleh Allah untuk melihat sisi Mbah Kyai Hamid
tersebut. Tak hanya sampai di situ, masih banyak karomah yang dimiliki Mbah
Kyai Hamid.
Beberapa di antaranya
terungkap dari orang-orang yang pernah bertemu secara langsung dengan beliau.
Jika ingin mengetahui kisah selengkapnya, bacalah biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan. Semoga secuil kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi siapa pun
untuk senantiasa merendahkan hati. Sebab, rendah hati tidak sama dengan
merendahkan diri sendiri.
Posting Komentar untuk "Biografi Mbah Kyai Hamid Pasuruan: Perjalanan Hidup dan Kewalian"