Sejarah Sunan Muria Kudus, Berdakwah Dengan Seni
alhuda14.net - Anda pasti tidak asing dengan sejarah Sunan Muria Kudus. Ya, beliau adalah salah satu bagian dari Walisongo. Sunan Muria merupakan seorang penyebar agama Islam di Jawa. Dakwah beliau meliputi wilayah Kudus, Pati dan sekitarnya, terutama daerah pedalaman di seputar Gunung Muria. Untuk mengetahui perjalanan dakwah beliau, artikel ini akan membahas sejarah tentang Sunan Muria.
Sunan Muria yang merupakan anggota termuda dari Walisongo
adalah putra dari Sunan Kalijaga. Maka, cara beliau berdakwah pun mirip dengan
ayahnya, yakni melalui kesenian. Selain itu, ia juga berdakwah dengan cara yang
lembut dan halus yang berasal dari ajaran ayahnya. Beliau adalah salah satu
Sunan yang mempunyai kekuatan dan kesaktian. Simak juga tentang
sejarah Sunan Muria Kudus |
Biografi Dan Sejarah Sunan Muria Kudus
Nama kecil dari sunan Muria adalah Raden Prawoto atau juga
dikenal dengan nama Raden Umar Said. Raden Prawoto atau Sunan Muria merupakan
putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Dewi Saroh sendiri adalah saudara dari
Sunan Giri yang tidak lain adalah putra Syeh Maulana Ishaq. Jadi, Sunan Muria
masih keponakan Sunan Giri.
Sunan Muria tinggal di Gunung Muria yang tepatnya di Puncak
Colo sebelah Utara kota Kudus. Oleh sebab itulah, Sunan ini dikenal sebagai
Sunan Muria. Beliau dikenal mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
terjadi pada masa kesultanan di Demak. Sunan Muria selalu mempunyai pemecahan
masalah yang memberikan keadilan untuk semua pihak yang terlibat.
Dalam sejarah Sunan Muria Kudus diceritakan ia juga
mempunyai kemampuan dalam bercocok tanam, berdagang dan melaut. Kemampuan
tersebut merupakan hasil dari interaksi yang ia lakukan pada masyarakat di
sekitarnya. Beliau sangat disegani oleh seluruh masyarakat, sebab suka membantu
serta keramahannya.
Cara Sunan Muria Kudus Menyampaikan Dakwahnya
Sunan Muria lebih mengutamakan kelembutan dalam berdakwah
kepada masyarakat. Bukan hanya menyebarkan terkait kebaikan Islam, beliau juga
menyampaikan manfaat Islam dalam kehidupan. Pada dasarnya, kebudayaan Islam telah
dianut oleh beberapa tradisi asli masyarakat. Namun, masyarakat belum
mengetahui bahwa tradisi tersebut merupakan ajaran Islam, seperti yang ada di
sejarah Sunan Muria Kudus.
Walisongo memiliki metode masing-masing dalam berdakwah,
salah satu ciri khas dakwah Sunan Muria yaitu menggunakan kesenian. Beliau
menggunakan alat kesenian seperti gamelan dan wayang dalam dakwahnya. Melalui
kedua alat kesenian tersebut yang disampaikan dalam bentuk cerita, Sunan Muria
memperkenalkan Islam.
Sehingga apa yang disampaikan Sunan Muria mudah dipahami
masyarakat dan meresap ke hati. Melalui gamelan dan wayang, beliau menceritakan
kisah-kisah Islam dengan cara yang unik dan menyenangkan. Masyarakat yang
sebagian besarnya adalah pedagang, pelaut, nelayan dan rakyat biasa semakin
mudah memahami nilai-nilai Islam yang disampaikan beliau.
Di dalam kisah wayang di sejarah Sunan Muria Kudus, diceritakan
ia mengkombinasikan cerita Islami dengan bunyi gamelan yang membuat penonton
semakin antusias. Selain dengan kesenian wayang dan gamelan, Sunan Muria juga
berdakwah melalui lagu atau nyanyian Jawa. Cara dakwah dengan lagu ini juga
dilakukan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
Kedua Sunan tersebut berdakwah menggunakan kesenian
lagu-lagu Jawa. Adapun nyanyian yang digunakan Sunan Muria, yaitu dikenal
dengan nama "Sinom" dan "Kinanti". Lirik dari kedua lagu
tersebut berisi kisah agama Islam yang tentunya menarik bagi penonton. Oleh
sebab itu, Sunan Muria dikenal sebagai Sunan yang senang berdakwah "Topo Ngeli" yang berarti menghanyutkan
diri dalam masyarakat.
Cara berdakwah beliau ini semakin terus menyebar sampai ke
lereng gunung Muria. Kisah Topo Ngeli menceritakan tentang pewayangan yang
dilakoni oleh Dewa Ruci. Kisah yang sering diceritakan oleh ayahnya. Kisah asli
Dewa Ruci merupakan cerita seorang empu Majapahit yang diceritakan kembali oleh
Sunan Kalijaga melalui pewayangan.
Kemudian sebagai anaknya, Sunan Muria melanjutkan untuk
menceritakan kembali kisah ini. Kisah tersebut menceritakan perjalanan rohani
tokoh Bima (Werkudoro) yang masuk ke samudera luas tanpa batas. Kemudian
akhirnya, sang Hyang Nawa Ruci memberikan wejangan tentang kebenaran yang
hakiki.
Cerita Dewa Ruci diceritakan kembali oleh Sunan Kalijaga dan
Sunan Muria dengan mengubah nama tokohnya dengan nama-nama ajaran Islam. Dengan
mengganti nama tokoh tersebut, kisah Dewa Ruci menjadi lebih digemari
masyarakat ketika itu.
Karomah Pada Sunan Muria Kudus
Setiap wali Allah pasti mendapat berkah karomah atau
keistimewaan sebagai salah satu kekuatan. Begitu pula dengan Sunan Muria,
beliau pun diberkahi karomah. Berikut ulasan karomah dalam sejarah Sunan Muria
Kudus.
Guyang Cekathak
Sunan Muria mempunyai benda berupa pelana kuda yang dapat
digunakan untuk meminta hujan ketika terjadi kekeringan. Ritual meminta hujan
itu menjadi sebuah tradisi yang disebut "Guyang Cekathak" yang
berarti memandikan pelana kuda. Adapun memandikan pelana kuda dilakukan dengan
berjalan dari komplek masjid Muria sampai mata air Sendang Rejoso.
Kemudian Pelana Kuda itu dimandikan dengan air sendang
Rejoso dan airnya lalu dipercikkan ke warga. Kemudian dilanjutkan dengan doa
dan salat untuk meminta hujan. Akhir dari ritual itu ditutup dengan doa
keselamatan dan syukuran dengan makan bersama.
Air Gentong yang Mujarab
Sunan Muria mempunyai air yang sudah didoakan oleh beliau.
Air itu disimpan di dalam gentong (tempat air besar). Atas ijin Allah, air
tersebut memiliki khasiat yang luar biasa, di antaranya dapat menjadi obat
apabila diminum. Air gentong dalam sejarah Sunan Muria Kudus ini diyakini
masyarakat memiliki keberkahan untuk menyembuhkan segala penyakit.
Selain itu, air gentong juga bisa meningkatkan kecerdasan
bagi yang meminumnya. Hingga kini air gentong tersebut masih digunakan oleh
para peziarah yang datang. Itulah salah satu karomah yang dimiliki Sunan Muria.
Benda Peninggalan Sunan Muria
Sebagai salah satu tokoh Islam yang memiliki kekuatan dan
kesaktian, Sunan Muria memiliki benda peninggalan yang memiliki kekuatan.
Benda-benda peninggalan Sunan Muria yang sakral itu dirawat oleh masyarakat.
Berikut ini benda-benda sakral peninggalan yang dicertakan dalam sejarah Sunan
Muria Kudus:
Pari Joto
Pari Joto adalah dua buah yang terdiri atas madu lebah dan
jintan hitam. Kedua buah ini memiliki kandungan gizi yang sangat baik
dikonsumsi ibu hamil, karena bisa memperkuat kehamilan. Pari Joto tumbuh di
sekitar rumah Sunan Muria Kudus, namun kini kedua buah mudah ditemukan di
berbagai wilayah. Apalagi sekarang sudah banyak perusahaan yang
mengembangkannya dalam kemasan yang mudah dikonsumsi.
Pakis Haji
Pakis Haji adalah salah satu jenis tumbuhan yang biasa
digunakan sebagai tanaman pengusir hama pada tanaman padi. Hingga kini, Pakis
Haji masih digunakan sebagian besar masyarakat terutama di Gunung Muria.
Bulusan dan Kayu Adem Ati
Ketika Sunan Muria Kudus masih hidup, terdapat seekor
kura-kura kecil yang dipercaya sebagai jelmaan manusia. Pada masa itu juga
terdapat pohon bernama "kayu adem ati" yang diyakini mempunyai
kekuatan. Kekuatan ini sangat tenar dalam sejarah Sunan Muria Kudus, sehingga pohon tersebut menjadi
tanaman keramat.
Pohon Jati Keramat Masin
Terdapat pohon jati berusia ratusan tahun yang tumbuh sejak
Sunan Muria hidup hingga tiada. Hingga kini tidak ada seorang pun yang berani
menebangnya, karena dipercaya mempunyai kekuatan yang akan berdampak pada yang
memotongnya.
Makam Sunan Muria
Makam Sunan Muria berada di daerah perbukitan di lereng
gunung Muria, tepatnya di desa Colo, kecamatan Dawe. Makam beliau berlokasi di
kawasan masjid Muria. Hingga saat ini makan beliau banyak dikunjungi
orang-orang dari seluruh pelosok nusantara. Simak juga tentang
Demikianlah ulasan tentang sejarah
Sunan Muria Kudus. Semoga ulasan pada artikel ini dapat memberi manfaat untuk
Anda.
Posting Komentar untuk "Sejarah Sunan Muria Kudus, Berdakwah Dengan Seni"