Perjalanan Sejarah Sunan Ampel di Surabaya
alhuda14.net Perjalanan Sejarah Sunan Ampel di Surabaya! Raden Rahmad atau Sunan Ampel, merupakan waliyullah yang sangat tinggi kedudukannya. Beliau adalah sosok kakak tertua yang bisa menjadi pedoman bagi para wali lainnya. Bahkan dikatakan lebih lanjut bahwa Sunan Ampel adalah kekuatan spiritual di balik berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa (Kerajaan Demak).
Menurut beberapa
sumber babad, Sunan Ampel bukanlah asli Jawa, melainkan Campa. Masih belum
jelas bahwa Campa disini merupakan daerah di Kamboja (Indocina) atau daerah di
Aceh. Meskipun begitu, banyak ahli mengatakan bahwa Sunan Ampel adalah
keturunan Cina dan berdarah Arab. simak juga tentang
Sejarah Sunan Ampel |
Asal Usul Sunan Ampel Menurut Babad Tanah Jawi
Sejarah Sunan Ampel
di Surabaya begitu besar, sehingga banyak yang menanyakan asal usulnya. Namun
menurut Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa beliau adalah keturunan Syekh
Maulana Ibrahim Asmorokondi yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW. Syekh
Maulana Ibrahim Asmorokondi merupakan guru agama Islam yang berasal dari Timur
Tengah atau suatu tempat di Asia Tengah. Sementara ibunya adalah putri Campa.
Lalu, mengapa Raden
Rahmad tidak bergelar Syekh seperti penyebar agama Islam lainnya yang berasal
dari Arab? Menurut beberapa sumber dan babad, Sunan Ampel muda sering dipanggil
Rahmad. Beliau kemudian mendapatkan gelar Raden saat berada di Majapahit.
Beberapa sumber
mengatakan bahwa sejarah Sunan Ampel di Surabaya bermula dari kedatangan beliau
di Majapahit di awal abad ke-14. Setelah menempuh perjalanan panjang lewat
samudera, Raden Rahmat tiba di pusat kerajaan Majapahit bersama adiknya Raja
Pandhita (Raden Santri). Beliau juga datang bersama anak pamannya (raja Campa)
yang bernama Beureurah atau Burerah.
Setibanya di
Majapahit, mereka bertiga diterima dengan baik dan dianggap sebagai keluarga
kerajaan. Sebab, Raden Rahmat dan adiknya adalah keponakan dari permaisuri
Prabu Brawijaya yang namanya Dewi Murtiningrum. Dalam Babad Tanah Jawi, bibi
Raden Rahmad atau istri Prabu Brawijaya ini dikenal sebagai Ratu Darawati.
Nah, saat berada di
Majapahit inilah, mereka bertiga memperolah gelar raden dan mendapatkan
kesempatan untuk menguasai suatu wilayah. Raden Rahmat diberi kesempatan untuk menduduki
wilayah Surabaya, tepatnya di Ampel. Sementara Raden Santri dan Raden Burerah
diberikan tanah di Gresik untuk tempat tinggal. Dan dari sinilah, sejarah Sunan
Ampel di Surabaya dimulai.
Adapun pemberian gelar Raden Rahmad, Raden Santri, dan
Raden Burerah, karena mereka dianggap sebagai
bangsawan. Mereka juga perlu dihormati karena menyandang gelar asy-Syarif atau ningrat Arab sebelumnya. Berdasarkan padanan,
gelar Raden ini umumnya disejajarkan dengan keturunan raja-raja Jawa. Dan
karena itulah, Raden Rahmat tidak lagi menjadi orang asing dan berhasil
memperbanyak pengikutnya.
Kiprah dan Sejarah Sunan Ampel di Surabaya Hingga Disebut Wali Songo
Perpindahan Sunan
Ampel ke Surabaya ditulis dalam sebuah buku Oud Soerabaia (1931), karangan G.H.Von Faber. Dalam buku itu disebutkan
bahwa Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga pengikutnya. Sementara sumber
sejarah Sunan Ampel di Surabaya (Babad Ngampeldenta) menyebutkan jika jumlah
orang yang ikut ke Surabaya sebanyak 800 keluarga.
Beberapa
sumber juga menyebutkan
bahwa selama di Jawa, beliau menikah dengan putri adipati Tuban (Arya Teja).
Yang mana putri dari Arya Teja ini kita kenal sebagai Nyai Ageng Manila. Dengan
gelar Raden dan kedudukannya sebagai menantu adipati Tuban, maka beliau bisa
mengembangkan kiprahnya dalam menyebarkan agama Islam dari Surabaya.
Bahkan ajaran beliau juga terus
berkembang ke seluruh Tanah Jawa. Menurut beberapa sumber sejarah
sunan ampel di Surabaya, beliau
tidak sendirian, namun dibantu oleh murid-murid dan anak-anaknya. Beliau juga
mendapatkan julukan Suhun karena
menjadi guru besar agama Islam. Suhun adalah
kata dasar dari Sunan, menurut buku Javaansch-Nedherlansch
Handwooenboek”.
Nah,
dari situlah panggilan sunan muncul, dan karena beliau menetap di Ampel, maka beliau
mendapatkan gelar Sunan Ampel. Lalu bagaimana kiprah Sunan Ampel hingga disebut
wali Allah? Menurut Drs.H.Syamsudduha dalam buku Jejak Kanjeng Sunan (1999),
disebutkan bahwa waliyullah tidak
sekedar sebutan, namun juga ada roh di dalamnya.
Sebutan wali juga tidak bisa dilepaskan
dari Al Quran, seperti yang terdapat dalam Surat Yunus ayat 62-64. Ayat itu
mengandung makna bahwa wali Allah, adalah orang yang karena iman dan taqwanya
tidak mengenal takut dan sedih. Ia akan senantiasa gembira dan optimis dalam
perjuangan, karena yakin dengan janji Allah, untuk memberi kemenangan dan
keberhasilan. Itulah mengapa sejarah Sunan Ampel di Surabaya kian populer.
Berkat kiprah Sunan Ampel di Surabaya,
maka penyebaran Islam di Tanah Jawa semakin nyata. Sunan Ampel juga dibantu
oleh delapan penyebar agama Islam lain yang juga memperoleh gelar yang sama waliyullah”. Satu di antaranya dipanggil
Syekh, bukan Sunan. Dan dari sembilan
waliyullah inilah kemudian dikenal
sebutan Wali Songo.
Dakwah Sunan Ampel di Surabaya
Dalam sejarah Sunan Ampel di Surabaya,
makna Sunan berarti yang di junjung tinggi atau panutan bagi masyarakat
setempat. Oleh karena itu, langkah pertama yang dilakukan beliau setibanya di
Ampeldenta adalah membangun masjid untuk berdakwa. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah.
Selanjutnya Sunan Ampel
mendirikan pondok pesantren untuk mendidik siapapun yang mau berguru kepada
beliau, khususnya pangeran Majapahit dan putra bangsawan. Beliau memiliki tugas
untuk memperbaiki moral pemuda atau warga setempat dengan falsafah beliau yang paling
terkenal, yang dinamai Mo Limo.
Falsafah Mo Limo artinya tidak mau melakukan lima
perbuatan atau lima hal tercela. Lima hal ini meliputi: main judi,
mabuk-mabukkan (minum arak), mencuri, madat (menghisap madu), dan madon (main
perempuan yang bukan isterinya). Perkembangan sejarah Sunan Ampel di Surabaya ini
tidak terlepas dari dukungan Prabu Brawijaya. Beliau sangat senang dengan hasil
didikan Raden Rahmat, dan tidak marah ketika rakyatnya berpindah agama.
Prabu Brawijaya mengizinkan
rakyatnya memeluk agama Islam asalkan tidak ada paksaan di dalamnya. Sementara
itu, Prabu Brawijaya sendiri tidak pernah mau untuk memeluk agama Islam. Tidak
ada dorongan atau paksaan dari Sunan Ampel untuk berdakwa. Bahkan beliau
menolak ketika putra Prabu Brawijaya (Raden Patah) meminta izin untuk menyerang
Majapahit karena ayahandanya tidak mau masuk Islam.
Raden Rahmad dalam sejarah Sunan Ampel di Surabaya mengatakan bahwa kita sebagai umat muslim tidak boleh mendahului takdir. Bahkan beliau juga mengatakan jika Prabu Brawijaya telah berbaik hati karena mengizinkannya untuk menyebarkan agama Islam di Surabaya. Untuk itu, jika Prabu Brawijaya belum mau masuk Islam, itu karena Allah belum menghendakinya. Dan karenanya, kita harus menerima kehendak Allah. simak juga tentang Sejarah Sunan Ampel
Dari sejarah Sunan
Ampel di Surabaya, kita tahu bahwa untuk menjadi pemimpin atau panutan, maka
kita tidak boleh memaksa. Sebagaimana Sunan Ampel juga tidak pernah memaksakan
agama Islam kepada rakyat Majapahit. Dan dengan dipilihnya beliau sebagai Mufti
atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa, maka banyak sekali pengikutnya yang
memperoleh karomah. Termasuk putranya sendiri yakni Sunan Bonang dan Sunan
Drajad.
Posting Komentar untuk "Perjalanan Sejarah Sunan Ampel di Surabaya"